Profil Relawan SAR, Tak Kenal Lelah, Hingga Tidur Pun Diikat di Pohon - NOL DESIBEL

Breaking

NOL DESIBEL

make it simple, with silent

test banner

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 14 Mei 2012

Profil Relawan SAR, Tak Kenal Lelah, Hingga Tidur Pun Diikat di Pohon



Para relawan harus menghadapi medan yang sulit, naik-turun tebing nan terjal, berhadapan dengan angin kencang, dan kabut tebal untuk menemukan lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100. Bahaya pun mengancam sewaktu-waktu. Berikut ini kisah perjalanan mereka.



PESAWAT Sukhoi Superjet 100 yang melakukan demo flight, Rabu (9/5) dikabarkan hilang kontak pada pukul 14.33 di kawasan Gunung Salak.
Pencarian pun dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, baik melalui jalur udara maupun darat. Mereka melakukan pendakian gunung yang berada di kawasan Sukabumi-Bogor, Jawa Barat. Tim gabungan bergerak, merayap, melakukan penyisiran dari kaki gunung ke Puncak Manik yang paling tinggi di antara tiga puncak lainnya di Salak, yakni 2355 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Namun, kesulitan medan dan keangkeran gunung itu sudah terkenal di antara kalangan pendaki.

 Selain memiliki banyak jalur pendakian juga merupakan salah satu kawasan hutan hujan di Indonesia. Wajar, bila hutan itu sangat lebat, sama halnya dengan Gunung Gede-Pangrango.

Salah satu relawan itu adalah Arman. Remaja 17 tahun ini salah satu pahlawan dalam tim evakuasi di Gunung Salak. Dia bersama pasukan TNI dan Tim SAR serta Mapala UI adalah salah satu perintis yang membuka jalur menuju lokasi jatuhnya Sukhoi di tebing Gunung Salak.
”Saat tidur, saya mesti mengikat badan dengan tali ke pohon. Biar nggak jatuh ke jurang,” kata Arman sambil menunjukkan ikat pinggangnya yang hampir rusak di Posko SAR di Pos Embrio, kemarin.

Arman naik ke lokasi kecelakaan sejak hari pertama. Selama pendakian dia hanya membawa tas punggung kecil berisi baju. Sepatu yang dikenakan pun hanya sepatu biasa, bukan sepatu khusus untuk mendaki gunung. ”Perjalanan ke atas jauh, sekitar 6-7 jam,” terang remaja berperawakan kecil itu.

Di sana dia melihat puing-puing pesawat yang hancur dan jenazah korban. ”Untuk ke lokasi mesti melewati jurang,” katanya.
Dia diminta menjadi penunjuk jalan ke lokasi bagi TNI. Begitu tiba di Pos SAR, Arman pun diminta langsung ke tempat logistik.
Seperti halnya Arman, Marzen pun bekerja tanpa pamrih membantu tim evakuasi. Relawan yang biasa bertugas di Gunung Halimun dan Gunung Gede ini bercerita, medan di lokasi sangat berat.

”Yang paling minim itu logistik. Saya sampai makan apa yang ada di lokasi, saya mesti makan gedebong pisang,” ucap Marzen.
Namun, dia mengaku hal itu adalah hal yang biasa. Bagi Marzen, mengevakuasi jenazah korban Sukhoi adalah yang utama.
”Melihat kondisi korban saya sampai menangis. Baru kali ini saya melihat seperti itu. Yang susah, jenazah yang menyangkut di tebing, mesti memanjat untuk mengambilnya,” tutur pria berusia 40-an tahun ini.
Hal senada dilakukan Swaroop, anggota Tim SAR dari Pelita Air Service. Mendengar adanya kecelakaan itu, dirinya bersama rekannya langsung melakukan pendakian.

Dasar Lembah

Perjuangan gigih dan berani juga dilakukan oleh personel Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Betapa tidak? Di saat rewalan lain memutuskan untuk tidak mendekati lokasi crash side karena melihat kecuraman tebing, tujuh personel Kopassus memilih meneruskan perjalanan dan mencapai dasar lembah Gunung Salak membuka jalan. ”Tidak ada yang tidak bisa, kami harus berhasil,” kata pemimpin regu Sertu Abdul Haris di Posko Pusat Evakuasi Embrio.
Haris bersama 19 pasukan baret merah berangkat menuju titik evakuasi, Kamis (11/5), pukul 06.00. Mereka berangkat bersama tim evakuasi gabungan dari Marinir, Paskhas, Brimob, dan unsur relawan dari masyarakat. Total jumlah tim rescue saat itu yang berangkat sekitar 200-an orang.

Seluruh tim berhasil mencapai puncak Gunung Salak sekitar pukul 11.00. Dari puncak tersebut, mereka melihat puing-puing pesawat bertebaran di tebing dengan kemiringan 85 derajat. ”Yang lain memilih tidak meneruskan, sementara kami berpikir harus sampai di lokasi,” katanya.
Sebanyak 20 orang personel Koppasus akhirnya memutuskan untuk terus berjalan. Untuk mencapai lokasi yang akan dituju tim dibagi dua. Satu tim berjumlah 13 orang, sedangkan 7 orang lainnya dipimpin Haris.
Mereka adalah Sertu Abdul Haris, Serda Reki Doan, Komptu Marulak, Prada Deni Hartanto, Prada Ahmad Syarifudin, Prada Bagus Pribadi Harahap, Prada Gama Oktorinel.
”Berhasil mencapai tebing lokasi puing sekitar pukul 17.00,” kisah Haris.

Kedalaman tebing diperkirakan mencapai 500 meter. Sementara peralatan untuk menuruni tebing, seperti tali, hanya mencapai 50 meter. Tim harus bejibaku menuruni tebing dengan cara bergelantungan di celah-celah yang bisa ditapaki.
”Kalau talinya habis, terus disambung sampai ke bawah, sebagian memilih bergantungan,” ujar Haris.
Ketika hari benar-benar dirasakan gelap, tim mau tidak mau harus menginap di kaki gunung. Keseokan harinya mereka mengevakuasi jasad yang ditemukan bergelantungan dengan parasut. Tim juga berhasil mengumpulkan beberapa puing pesawat yang hancur di lokasi pendakian.

sumber : suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here