Para relawan harus menghadapi medan yang sulit,
naik-turun tebing nan terjal, berhadapan dengan angin kencang, dan kabut tebal
untuk menemukan lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100. Bahaya pun
mengancam sewaktu-waktu. Berikut ini kisah perjalanan mereka.
PESAWAT Sukhoi Superjet 100 yang melakukan demo flight,
Rabu (9/5) dikabarkan hilang kontak pada pukul 14.33 di kawasan Gunung Salak.
Pencarian pun dilakukan dengan melibatkan banyak pihak,
baik melalui jalur udara maupun darat. Mereka melakukan pendakian gunung yang
berada di kawasan Sukabumi-Bogor, Jawa Barat. Tim gabungan bergerak, merayap,
melakukan penyisiran dari kaki gunung ke Puncak Manik yang paling tinggi di
antara tiga puncak lainnya di Salak, yakni 2355 meter di atas permukaan laut
(mdpl).
Namun, kesulitan medan dan keangkeran gunung itu sudah
terkenal di antara kalangan pendaki.
Selain memiliki
banyak jalur pendakian juga merupakan salah satu kawasan hutan hujan di
Indonesia. Wajar, bila hutan itu sangat lebat, sama halnya dengan Gunung
Gede-Pangrango.
Salah satu relawan itu adalah Arman. Remaja 17 tahun ini
salah satu pahlawan dalam tim evakuasi di Gunung Salak. Dia bersama pasukan TNI
dan Tim SAR serta Mapala UI adalah salah satu perintis yang membuka jalur
menuju lokasi jatuhnya Sukhoi di tebing Gunung Salak.
”Saat tidur, saya mesti mengikat badan dengan tali ke
pohon. Biar nggak jatuh ke jurang,” kata Arman sambil menunjukkan ikat pinggangnya
yang hampir rusak di Posko SAR di Pos Embrio, kemarin.
Arman naik ke lokasi kecelakaan sejak hari pertama.
Selama pendakian dia hanya membawa tas punggung kecil berisi baju. Sepatu yang
dikenakan pun hanya sepatu biasa, bukan sepatu khusus untuk mendaki gunung.
”Perjalanan ke atas jauh, sekitar 6-7 jam,” terang remaja berperawakan kecil
itu.
Di sana dia melihat puing-puing pesawat yang hancur dan
jenazah korban. ”Untuk ke lokasi mesti melewati jurang,” katanya.
Dia diminta menjadi penunjuk jalan ke lokasi bagi TNI.
Begitu tiba di Pos SAR, Arman pun diminta langsung ke tempat logistik.
Seperti halnya Arman, Marzen pun bekerja tanpa pamrih
membantu tim evakuasi. Relawan yang biasa bertugas di Gunung Halimun dan Gunung
Gede ini bercerita, medan di lokasi sangat berat.
”Yang paling minim itu logistik. Saya sampai makan apa
yang ada di lokasi, saya mesti makan gedebong pisang,” ucap Marzen.
Namun, dia mengaku hal itu adalah hal yang biasa. Bagi
Marzen, mengevakuasi jenazah korban Sukhoi adalah yang utama.
”Melihat kondisi korban saya sampai menangis. Baru kali
ini saya melihat seperti itu. Yang susah, jenazah yang menyangkut di tebing,
mesti memanjat untuk mengambilnya,” tutur pria berusia 40-an tahun ini.
Hal senada dilakukan Swaroop, anggota Tim SAR dari Pelita
Air Service. Mendengar adanya kecelakaan itu, dirinya bersama rekannya langsung
melakukan pendakian.
Dasar Lembah
Perjuangan gigih dan berani juga dilakukan oleh personel
Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Betapa tidak? Di saat rewalan lain memutuskan
untuk tidak mendekati lokasi crash side karena melihat kecuraman tebing, tujuh
personel Kopassus memilih meneruskan perjalanan dan mencapai dasar lembah
Gunung Salak membuka jalan. ”Tidak ada yang tidak bisa, kami harus berhasil,”
kata pemimpin regu Sertu Abdul Haris di Posko Pusat Evakuasi Embrio.
Haris bersama 19 pasukan baret merah berangkat menuju
titik evakuasi, Kamis (11/5), pukul 06.00. Mereka berangkat bersama tim
evakuasi gabungan dari Marinir, Paskhas, Brimob, dan unsur relawan dari
masyarakat. Total jumlah tim rescue saat itu yang berangkat sekitar 200-an
orang.
Seluruh tim berhasil mencapai puncak Gunung Salak sekitar
pukul 11.00. Dari puncak tersebut, mereka melihat puing-puing pesawat
bertebaran di tebing dengan kemiringan 85 derajat. ”Yang lain memilih tidak
meneruskan, sementara kami berpikir harus sampai di lokasi,” katanya.
Sebanyak 20 orang personel Koppasus akhirnya memutuskan
untuk terus berjalan. Untuk mencapai lokasi yang akan dituju tim dibagi dua.
Satu tim berjumlah 13 orang, sedangkan 7 orang lainnya dipimpin Haris.
Mereka adalah Sertu Abdul Haris, Serda Reki Doan, Komptu
Marulak, Prada Deni Hartanto, Prada Ahmad Syarifudin, Prada Bagus Pribadi
Harahap, Prada Gama Oktorinel.
”Berhasil mencapai tebing lokasi puing sekitar pukul
17.00,” kisah Haris.
Kedalaman tebing diperkirakan mencapai 500 meter.
Sementara peralatan untuk menuruni tebing, seperti tali, hanya mencapai 50
meter. Tim harus bejibaku menuruni tebing dengan cara bergelantungan di
celah-celah yang bisa ditapaki.
”Kalau talinya habis, terus disambung sampai ke bawah, sebagian
memilih bergantungan,” ujar Haris.
Ketika hari benar-benar dirasakan gelap, tim mau tidak
mau harus menginap di kaki gunung. Keseokan harinya mereka mengevakuasi jasad
yang ditemukan bergelantungan dengan parasut. Tim juga berhasil mengumpulkan beberapa
puing pesawat yang hancur di lokasi pendakian.
sumber : suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar